Ruang Lingkup Ibadah
- Updated: November 4, 2023
Download Full Ebook Anak karya Kak Nurul Ihsan
D. Ruang Lingkup Ibadah
Berbicara tentang ruang lingkup ibadah, tentunya tidak bisa dilepaskan dari definisi-definisi yang telah disebutkan sebelumnya, karena melalui definisi-definisi itulah kita tahu perkataan atau perbuatan mana saja yang dapat dikategorikan sebagai ibadah.
Selanjutnya, apabila kita memerhatikan berbagai definisi ibadah di atas, maka kita akan mendapati bahwa ruang lingkup ibadah itu yang sangat luas.
Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan Rahman menyatakan bahwa ruang lingkup ibadah itu mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah.
Baik dalam perkataan maupun perbuatan, lahir maupun batin; termasuk dalam pengertian ini adalah shalat, zakat, haji, benar dalam pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orangtua, menjalin silaturahim, memenuhi janji, amar makruf nahi mungkar, jihad terhadap orang kafir, berbuat baik pada tetangga, anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil, berdoa, zikir, baca Al-Quran, rela menerima ketentuan Allah dan lain sebagainya.[1]
Walaupun ruang lingkup ibadah yang di atas cukup luas, namun secara umum bentuk ibadah tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghair mahdhah.
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah dikenal juga dengan istilah ibadah khusus.
Maksudnya adalah bahwa ibadah mahdhah ini merupakan peribadatan yang dilakukan manusia yang “berhubungan langsung” dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (hubungan vertikal).
Hubungan vertikal tersebut merupakan hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Rabbnya atau dikenal pula dengan istilah ibadah ritual.
Ibadah dalam bentuk ini merupakan pengejawantahan dari rukun Islam yang berjumlah lima perkara.
Selain itu, ibadah mahdhah juga merupakan ibadah yang perintah dan larangannya sudah jelas secara dzahir (terdapat dalil qath’i), sehingga tidak memerlukan penambahan atau pengurangan.
Jenis-jenis ibadah yang termasuk ke dalam ibadah mahdhah ini adalah sebagai berikut.
a. Thaharah (bersuci)
Thaharah ini merupakan hal pertama yang perlu mendapatkan perhatian, karena bersuci ini sangat menentukan sah dan tidak sahnya suatu ibadah mahdhah, terutama shalat yang merupakan amal penentu atas amalan lainnya sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Sebagai contohnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menegaskan bahwa:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ
Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci… (HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
Hadis di atas menggambarkan bahwa thaharah itu sangat penting untuk diperhatikan.
Adapun ruang lingkup pembahasan thaharah sendiri cukup luas, yang antara lain mencakup permasalahan air, najis, buang air kecil dan besar, istinja, wudhu, tayamum, mandi besar, dan sebagainya.
b. Shalat
Shalat yang merupakan ibadah utama dalam Islam, secara bahasa dapat diartikan sebagai doa.
Hal ini dapat ditemukan, misalnya, dalam Al-Quran:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS. at-Taubah:103).
Adapun secara terminologi, pengertian yang paling umum kita dengar bahwa yang disebut dengan shalat adalah “serangkaian perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
c. Zakat
Zakat merupakan salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam.
Zakat ini bisa dikatakan sebagai ibadah yang memiliki dua kaitan, yakni secara vertikal dengan Allah dan secara horizontal dengan sesama manusia.
Zakat sendiri memiliki pengertian membersihkan, bertumbuh, dan berkah.
Secara umum, zakat ini terbagi menjadi dua jenis, yakni zakat harta atau disebut juga zakat maal dan zakat diri yang dikeluarkan setiap akhir bulan Ramadhan, yang kita kenal sebagai zakat fitrah.
d. Shaum
Shaum atau puasa merupakan salah satu ibadah pokok yang ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Secara bahasa, shaum (الصوم) ini berarti al-imsak, yang artinya menahan dan diam dalam segala bentuknya.
Adapun secara terminologi, shaum ini berarti “menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara.”
e. Ibadah Haji
Kata haji (الحج) ini berasal dari bahasa Arab, yang berarti “menyengaja”. Adapun dalam arti terminologi, ibadah haji adalah “menziarahi ka’bah dengan melakukan serangkaian ibadah di Masjid al-Haram dan sekitarnya, baik dalam bentuk haji ataupun umrah.
Meskipun ibadah haji dan umrah ini sama-sama dilakukan di Masjid al-Haram dan sekitarnya, namun ada beberapa perbedaan yang menjadikan ibadah haji dan umrah ini tidak sama.
Perbedaan tersebut antara lain bahwa dalam ibadah umrah tidak ada wuquf di Arafah, berhenti di Muzdalifah, melempar jumrah, dan menginap di Mina.
Oleh sebab itu, ibadah umrah ini sering disebut sebagai “haji kecil”, mengingat dalam pelaksanaannya seperti ibadah haji, namun bentuknya yang lebih sederhana.
2. Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah merupakan ibadah yang cakupan sangat luas dan bentuknya sangat banyak. Ibadah ini mencakup semua perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia bahkan dengan makhluk lainnya.
Dalam ibadah ghairu mahdhah ini, ada sejumlah dalil yang secara qhat’i (jelas dan tegas) menyebutkan perintahnya, ada juga yang merupakan hasil ijtihad bahwa hukumnya ibadah.
Intinya, ibadah jenis ini adalah semua aspek kehidupan baik dalam perkataan maupun perbuatan yang sesuai dengan ketentuan Allah swt, yang dilakukan dengan ikhlas.
Dengan demikian, ibadah ghairu mahdhah ini sering disebut pula sebagai ibadah umum atau muamalah, yakni segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik lahir maupun batin.
Beberapa aspek yang dapat dilingkupi menjadi ibadah ghairu mahdhah ini antara lain seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, politik , pendidikan, dan sebagainya.
Dalam paraktiknya bisa berbentuk seperti pernikahan, jual beli, aqiqah, kurban, sedekah, wakaf, warisan, dan sebagainya.
Bukan hanya itu, ibadah ghairu mahdhah ini juga merupakan ibadah yang cara pelaksanaannya dapat “direkayasa” oleh manusia.
Dapat direkayasa di sini bukan berarti dilakukan sesuka hati, tetapi tetap memerhatikan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Intinya, pengertian dapat direkayasa di sini adalah bahwa teknis pelaksanaan ibadah ghairu mahdhah ini dapat mengikuti situasi dan kondisi zaman, tetapi substansi ibadahnya tetap terjaga.
Sebagai contoh, perintah melaksanakan ikhtiar di muka bumi, perdagangan misalnya, maka perdagangan tersebut dapat dilakukan dengan beragam bentuk, yang terpenting tetap menjaga substansi ibadahnya, yakni “dengan cara yang halal dan bersih.”
[1] Ibid., Rahman dan A. Zainuddin R., Fiqh Ibadah…, h. 6.