Kenapa Kita Harus Beribadah?
- Updated: Oktober 30, 2023
Hakikat Penciptaan Manusia
Ketidakpahaman manusia tentang hakikat penciptaan dirinya tak jarang menjadikan manusia lupa atas dirinya sendiri. Memahami hakikat diri sebagai manusia pun sering terkikis oleh sikap dan tindakan yang cenderung serakah dan tidak pernah merasa puas dalam mengejar dorongan nafsu.
Sudah banyak manusia yang hanya sampai pada “tujuan semu” (kesenangan duniawi semata) dengan “mengorbankan” hakikat penciptaan dirinya sebagai ‘abid (orang yang seharusnya beribadah). Manusia terjebak dalam ranjau kehidupan yang begitu jauh dari kebijakan-kebijakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan tujuan yang jelas dan tegas, seperti tercantum dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah‐Ku. (QS Adz-Dzaariyaat: 56).
Ayat di atas menyebutkan dengan tegas kepada kita bahwa pada intinya, pengertian hidup dalam Islam ialah untuk ibadah. Kehadiran kita di dunia ini tiada lain hanyalah untuk mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Download Ebook Anak Karya Kak Nurul Ihsan
Makna Ibadah
Makna ibadah di sini tentunya ibadah dalam arti yang seluas-luasnya, yakni peribadatan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita, walaupun dalam term tertentu ibadah sering dimaknai lebih cenderung kepada beberapa ritus seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, dan sebagainya.
Memaknai ibadah seperti ini memang bukan sesuatu yang keliru, karena ritus ibadah sehari-sehari merupakan salah satu tolok ukur yang dapat menggambarkan kepasrahan seseorang di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ibadah shalat, misalnya, merupakan ibadah yang menjadi tolok ukur atas semua ibadah-ibadah lainnya. Dalam arti bahwa amalan seseorang bisa dinilai baik atau buruk tergantung dari shalatnya.
Eksistensi Kehidupan Manusia
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam dalam hadis yang diterima dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berikut:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ
Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi… (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, dan Baihaqi).[1]
Selanjutnya, terkadang dalam hati kita melintas sebuah pertanyaan, “Kenapa sih saya mesti beribadah?” atau dengan kata lain, “Mengapa Allah mewajibkan manusia untuk beribadah?”
Sebenarnya jawaban atas pertanyaan tersebut cukup banyak dan tidak terlalu sulit jika kita mampu merenungkan atau menafakurinya dengan saksama dan mendalam. Apabila kita “tahu diri” akan eksistensi kita di dunia ini, maka firman Allah di atas menjadi sesuatu yang masuk akal memerintah manusia untuk beribadah.
Alasan Ibadah
Beberapa faktor berikut ini setidaknya bisa menjadi alasan atas pertanyaan kenapa kita harus beribadah tersebut, yakni:
Bentuk Syukur
Sebagai bentuk terima kasih (syukur) atas terciptanya diri kita di dunia ini, yang juga telah menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini harus kita akui bahwa pada hakikatnya manusia itu lemah. Jangankan menciptakan makhluk hidup, memenuhi bagian dasar kebutuhan orang lain saja pasti tidak akan mampu.
Kita ambil contoh sederhana dalam kehidupan: Setiap hari Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi oksigen secara gratis kepada ratusan juta makhluk-Nya. Lantas bagaimana dengan kemampuan manusia? Adakah yang mampu melakukannya? Tentu jawabannya tidak akan ada yang sanggup bukan? Hal tersebut hanya salah satu aspek saja, belum lagi aspek lainnya.
Merenungkan hal semacam ini saja sebenarnya sudah dapat jawaban kenapa kita harus beribadah. Ibadah yang merupakan wujud syukur atas kehidupan ini merupakan keniscayaan bagi makhluk yang berperadaban seperti kita ini.
Konsekuensi Logis dari Keimanan
Sebagai konsekuensi logis dari keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang sekaligus sebagai cara menepati janji kita kepada-Nya. Hal ini karena kita—walaupun tidak ingat—telah berjanji untuk mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi…” (QS. al-A’Raf:172).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa tatkala setiap diri (jiwa) telah mengakui Allah sebagai Rabb, maka konsekuensi logis yang harus ditunaikannya adalah beribadah kepada-Nya.
Balasan Kebaikan atau Keburukan
Dalam kehidupan sekarang saja kita sepakat bahwa perbuatan baik akan dibalas baik, sedangkan perbuatan jahat akan dibalas dengan kejelekan. Lantas kita bisa merenungkan bahwa saat kita tahu dan yakin tidak ada satupun manusia yang hidup abadi, maka di kehidupan yang akan datang pasti ada balasan yang akan kita peroleh. Sementara balasan tersebut hanya ada dua jenis, yakni surga (tempat kenikmatan) atau neraka (tempat kesengsaraan).
Konsekuensi Ibadah
Manusia yang mampu berpikir logis tentu saja menginginkan tempat yang nikmat, dan sebagai konsekuensi dari keinginan tersebut adalah harus beribadah. Dengan ibadah itulah kita bisa memperoleh rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga terbebaskan dari tempat kesengsaraan dan memperoleh balasan kenikmatan.
Tiga faktor di atas hanyalah bagian kecil dari alasan logis kenapa kita harus beribadah. Jika digali lebih jauh lagi, tentu kita akan menemukan sejumlah alasan lain yng bisa membuat kita kemudian tersadar betapa pentingnya beribadah. Namun demikian, hal yang paling penting kita yakini adalah bahwa “sesungguhnya perintah ibadah itu adalah bentuk kasih sayang Allah” pada kita agar memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat kelak.”
Dengan demikian, maka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah harga mati. Artinya, ketika seseorang ingin memperoleh kebahagiaan, maka tidak ada lagi tawar-menawar dalam beribadah. Sudah seharusnya kita menjadikan hidup ini dengan hiasan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[1] Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, penilaian shahih ini disepakati oleh Adz Dzahabi. Selengkapnya lihat Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Abi Wahf Al-Qohthoni, Shalatul Mu’min, Maktabah Malik Fahd, 1431 H.