Memanah Bintang di Tambasa
- Updated: Februari 23, 2024
Segala puji hanya milik-Nya. Puja dan syukur tak terhingga kepada Pemilik Segala untuk segala nikmat-Nya.
Nikmat keistikamahan menulis, nikmat keinginan belajar yang masih terus ada, nikmat kesempatan melihat naskah novel Memanah Bintang di Tambasa ini selesai.
Terima kasih untuk Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek yang telah mewadahi penerbitan buku ini.
Terima kasih untuk yang tercinta Nuvida Raf dan anak kami Mahfudz Sabda Mappunna.
Masih sangat banyak yang harus menerima terima kasih ini, tapi tak bisa kusebut nama demi nama.
Semoga novel anak ini hadir untuk memberi pencerahan kepada para pembacanya, terutama anak-anak dan remaja.
Butir-butir keringat sebesar biji jagung ber gulir di pelipis Rahman.
Sebagian meleleh hingga ke leher, sebagian jatuh ke pundak, lalu membasahi baju sekolahnya.
Dia terus mengayuh sepedanya, melaju di antara jalanan kompleks yang cukup lengang.
Sesekali tangan kanannya, memutar stang sepeda seolah sedang menancap gas.
Dari bibir-nya, bukan deru napas yang terdengar, melainkan suara menyerupai gas motor balap yang melaju di
atas sirkuit.
“Bruuuumm….Buuumm….Buuum….”
Lalu tiba-tiba…
“Kiiikkkk…!”
Suara serupa gesekan aspal dengan ban motor terdengar dari bibirnya ketika tiba-tiba dia hampir menabrak portal melintang.
Bersamaan suara rem mendadak itu, dia mem belokkan stang, lalu berputar arah mem belakangi portal.
Selamat!
“Hoiiii, hati-hati, hoii! Jangan balap-balap dalam kompleks!” teriak Satpam kompleks yang melihat nya hampir menabrak portal.
“Kalo nabrak portal, bukan cuma sepedamu yang patah, tulangmu juga bisa ikutan patah!”
Sepeda?
Kalimat Pak Satpam seolah baru membuatnya tersadar jika dia tidak sementara naik motor, tetapi naik sepeda.
Sejak tadi dia meng khayal sedang naik motor keliling kompleks.
Di atas sepeda bututnya, dia merasa sedang menunggangi motor gede dengan bunyi knalpot bising.
Putar-putar keliling kompleks menerbangkan khayalan-khayalannya.
Padahal, meskipun dia punya motor gede, mana mungkin dia diizinkan orang tuanya bawa motor karena masih SD. Mana mungkin dia bisa punya motor dengan knalpot bising sementara Kak Syarif selama ini mendidiknya untuk sopan di jalanan meskipun itu hanya naik sepeda.
“Bruuumm…Buuum…Buuuummm….”
Dia menancap gas lagi. Lalu melambatkan jalan, melihat rumah-rumah kompleks yang megah sambil menerbangkan khayalannya.
Sumber dan Kontributor
Hak Cipta pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Dilindungi Undang-Undang.
Buku yang diunggah di SIBI (Sistem Informasi Perbukuan Indonesia) merupakan buku yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia diizinkan memanfaatkan buku ini termasuk mengunduh dan mencetaknya. Namun, jika akan diperjualbelikan, dilarang menjual lebih dari harga eceran tertinggi (HET) yang tertera di sampul belakang buku.