Syarat Diterimanya Ibadah
- Updated: Oktober 31, 2023
Syarat Diterimanya Ibadah
Setelah kita mengetahui pengertian ibadah dan kenapa kita harus beribadah, hal berikutnya yang tidak kalah penting adalah mengetahui syarat-syarat ibadah, agar ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sangat penting, mengingat siapapun orangnya pasti tidak mengharapkan ibadahnya tidak sah bahkan mardud (tertolak). Ibadah yang tertolak ini dicontohkan dalam Al-Quran sebagai berikut:
وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Tidaklah sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu melainkan hanyalah siulan dan tepukan tangan belaka. Maka rasakanlah azab, disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal:35).
Mengenai ayat ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ikrimah mengatakan: “Dahulu mereka melakukan tawaf di Baitullah pada sisi kirinya.”[1] Secara sepintas, ayat ini telah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang tampaknya seperti ibadah bisa saja di hadapan Allah tidak dinilai ibadah, bahkan seperti perbuatan sia-sia saja.
Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Memang hal ini bisa terjadi dengan berbagai sebab, baik sebab secara dzahir seperti tidak memerhatikan syarat sah suatu ibadah, maupun sebab batin seperti adanya niat yang salah dalam melakukan ibadah. Oleh sebab itu, Islam telah menggariskan aturan-aturan atau syarat-syarat tertentu agar ibadah kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Download Full Ebook karya Kak Nurul Ihsan
Syarat-syarat diterimanya suatu peribadatan adalah sebagai berikut.
1. Ikhlas (الإخلاص)
Ikhlas merupakan sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, namun pengamalannya tak semudah itu. Kita sering mendengar kalimat, “Saya ikhlas banget ngasih ini ke kamu,” “Saya ikhlas ikut nyumbang membangun masjid.”
Kalimat yang suka diucapkan orang yang beramal seperti di atas sebenarnya tidak menjamin bahwa amal yang dilakukannya benar-benar ikhlas.
Maksud ikhlas dalam beramal adalah bahwa setiap amalan yang dilakukan hanya mengharapkan ridha Allah, hatinya suci dari penyakit riya (ingin dilihat orang lain) dan terbebas dari sum’ah (ingin didengar orang lain).
Intinya bahwa seluruh amalan yang dikerjakannya hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata.
Ikhlas ini merupakan inti ajaran akidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul, yakni salah satu bentuk dari pengejawantahan kalimat tauhid (لا إله إلا الله) yang terdapat dalam dua kalimat syahadat. Pernyataan bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, merupakan landasan utama agar menjadikan seluruh ibadah yang dilakukan itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus… (QS. Al-Bayyinah:5).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menegaskan keikhlasan ini sebagai berikut:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridha Allah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Lawan dari perbuatan ikhlas adalah syirik, yakni adanya tandingan Allah dalam melakukan ibadah. Syirik dalam beribadah juga bisa dimaknai bahwa ibadah yang dilakukannya tertuju bukan hanya kepada Allah saja, tapi juga kepada selain-Nya. Ibadah yang dibarengi dengan syirik ini jelas dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, bahkan lebih jauh lagi dapat mengakibatkan amalannya ditolak oleh Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya,maka hendaklah ia mengerjakan amal sholih dan janganlah ia mempersektukan Robbnya dengan sesuatu pun dalam beribadah. (QS. al-Kahfi : 110)
2. Mengikuti Tuntunan Rasulullah (al-Ittiba’)
Mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (ittiba’) merupakan syarat yang kedua agar amalan kita diterima. Artinya bahwa semua amalan yang kita kerjakan harus sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Allah dan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ittiba’ merupakan salah satu dari pengejawantahan makna syahadatain, di mana manusia yang menyatakan diri untuk memeluk Islam, mengakui dan meyakini sepenuhnya bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah (أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ).
Pengakuan ini berarti bahwa selain ikhlas dalam beribadah, maka caranya pun harus sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak (HR. Muslim).
Dengan demikian, apabila suatu amalan tidak didasarkan atas ajaran beliau, maka ibadah itu tertolak, walaupun dalam ibadah tersebut mengandung keikhlasan. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa ikhlas saja tidak cukup jika dalam sebuah ibadah tidak ada ittiba’.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh—dalam mengomentari firman Allah Ta’ala لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا (untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang paling baik dalam beramal (QS. al-Mulk: 2))—mengatakan: “Yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling benar.” Kemudian ada yang bertanya: “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjawab: “Jika amalan itu ikhlas namun tidak benar maka tidak diterima. Jika benar namun tidak ikhlas maka juga tidak diterima. Amalan yang diterima adalah yang menggabungkan antara ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal karena Allah dan benar adalah sesuai sunnah.”[2]
Itulah dua syarat utama yang mutlak adanya dalam setiap ibadah yang kita lakukan. Bisa dikatakan bahwa ikhlas dan ittiba’ dalam beribadah adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisah. Jika salah satu sisinya tidak ada, maka uang pun pasti tidak laku. Artinya, jika amalan kita ingin diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tidak ada cara lain kecuali terkumpul di dalamnya dua syarat ini (ikhlas karena Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah).
[1] Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Anfal, (Rekompilasi Kampungsunnah.org, tth.tp), ebook dalam bentuk CHM.
[2] Ibnu Taimiyah, Al-Majmu’ Fatawa, juz III, hal. 124, Maktabah Syamilah.